Selasa, 06 Desember 2016

MATA PELAJARAN TERORISME


Pendidikan dalam konteks terorisme

Peristiwa runtuhnya gedung WTC di Amerika pada 11/09/2001 menanda adanya suatu masa yang dihantui dengan isu terorisme, isu tersebut masuk dalam praktik pendidikan secara tak terhindarkan.

 Masa itu telah memberikan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan terorisme. Selama itu pula praktik kultural di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pemikiran tentang terorisme. Pada tahun 2010 nirlaba Lazuardi Birru mengadakan sebuah simposium “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di jakarta. Hasilnya, pemutusan mata rantai itu tidak bisa dilakukan dengan satu pendekatan. “Pemecahan masalah Radikalisme dan Terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif dan lintas sektoral, bukan represif dari aparat keamanan saja melainkan harus dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang persuasif dan humanis dari seluruh elemen bangsa. 

Sinergi dari tokoh masyarakat, ypkph pendidikan dan tokoh agama, organisasi sosial masyarakat, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, media massa dfan masyarakat umum dalam setipa rencana aksi dan solusi sangat diperlukan”

Semua jadi percaya bahwa pemecahan masalah Radikalisme di Indonesia tidak bisa secara sebagian. Pernyataan itu bisa dibaca bahwa radikalisme adalah masalah multidimensi, sebuah krisis sosial, budaya, ekonomi, politik secara berturut-turut. Ketika pemecahan masalah radikalisme tidak bisa dilakukan secara parsial maka fungi-fungsi sosial dari satu institusi masyarakat dengan begitu haruslah  mengacu pada institusi-institusi yang lain baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Dengan begitu sistem-sitem yang terlibat tidak bisa mengabaikan manajemen institusional. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia program perencanaan yang terintegrasi hingga kepemimpinan yang kuat. Kita perlu mengembangkan sebuah sistem yang terpadu dan akurat untuk sebuah penyelesaian masalah tetapi pada saat yang sama hadirnya sistem tersebut tidak hanya sekedar membalikkan tangan. Jadi pemecahan masalah yang sinergis tetaplah harus dibaca sebagai meraba, mengabstraksikan sehingga membayangkan pola-pola dasar yang paling jauh dan paling mungkin dari gerak nalar kita.


Apapun itu baik Radikalisme maupun Terorisme itu merupakan istilah dari bangsa barat terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamana dan kenyamanan hidup mereka, yang tidak bisa diterima disini adalah bahwa sebutan terorisme diberikan kepada muslim. Astagfirullah semoga Allah selalu melindungi kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar